Segar asri berseri … dihati …
“Aku ingin keluar dari jamaah ini!”, sepotong kalimat terlontar dari seorang ikhwah. Bukan untuk yang pertama kali, namun sudah tak terhingga kalimat ini mengiang di telinga kita. Bukan pula yang terakhir kali, karena inilah sunatudda’wah. Pernyataan ini senantiasa membekas di setiap zaman, di setiap episode dakwah, dari zaman kenabian sampai hari kiamat.
“Silahkan akhi….silahkan ukhti….”, jawab seorang ikhwah menimpali.Beberapa dari kita mempersilahkan kepergian saudara dari barisan ini dengan sikap biasa-biasa. Sikap yang lahir dari pemahaman bahwa hal ini merupakan sunnah dakwah, bahwa akan selalu lahir ikhwah-ikhwah baru, mujahid-mujahid baru, bahwa Islam akan tetap terpelihara sehingga tidak pantas barisan ini merengek-rengek demi menahan kepergian seseorang, bahwa seleksi alamiah berlaku untuk membersihkan orang-orang yang barangkali memang kurang pantas mengemban amanah ini. Sikap ini tidak salah, banyak yang menerapkan dengan apa adanya, maka akhirnya tidak sedikitlah yang benar-benar mundur dari barisan ini.
Saat kita bersemangat, memiliki level iman yang stabil atau sedikit lebih baik, kita seolah-olah melihat saudara kita pun seperti kita. Menerapkan standar stabilitas keimanan kita kepada saudara-saudara kita, atau bahkan adik (ikhwah baru) kita. Maka, ketika kondisi saudara kita tidak stabil, sedang mengalami fluktuasi iman, futur, kita pun menganggapnya sebagai kader manja. Kita melihatnya dengan perspektif berbeda dengan apa yang dirasakannya atau yang dibutuhkannya. Kita yang stabil memaksa agar ia bisa survival bertahan di garis keimanan. Sehingga kita tidak merasa terlalu perlu untuk memberinya nasihat, atau motivasi-motivasi keimanan. Sementara betapa ia butuh sentuhan-sentuhan perhatian kita.
Kita berpikir bahwa suatu saat, kita akan hidup sendiri tanpa seorang ikhwah yang menemani di suatu daerah. Sehingga kita mengira bahwa kita harus bersiap-siap untuk hal tersebut. Maka ketika ada seorang yang futur, kita bersikap seolah-olah tidak peduli padanya. Dan ketika dia benar-benar mengucapkan, “selamat tinggal”, kita menyalahkannya atas kelemahannya. Kita menyelamatkan diri atas kesalahan dari futurnya saudara, dengan hiburan-hiburan bahwa ini adalah sunatuddakwah.
Tidak sedikit kisah-kisah futurnya ikhwah dari barisan ini setelah tarbiyah bertahun-tahun. Bukan hal yang mengejutkan memang, ulama bahkan ada yang murtad, berganti haluan, ustadz pun ada yang terjatuh, saat tergiur dengan indahnya dunia. Kehilangan seorang yang telah memiliki kepahaman dan mobilitas dakwah yang tinggi, apakah bisa diganti dengan masuknya 50 orang baru dalam barisan ini, tanpa kepahaman dan aksi dakwah yang mapan?Lepasnya seorang kader produktif apakah bisa ditutupi dengan hiburan bahwa 50 baru orang yang baru-baru mengikuti daurah tahap awal, dengan produktifitas dakwah yang masih nol?
Saudaraku, apakah orang yang baru tarbiyah 1 atau 5 tahun telah bisa menyamai kepribadian Ka’ab bin Malik ra?Nilai keimanan memang tidak bisa diukur dengan lamanya tarbiyah, namun kita bisa melihat secara umum bagaimana kondisi keimanannya dengan parameter usia interaksinya dengan dakwah. Apakah kita akan menyikapi seorang yang baru setahun liqo dengan sikapnya Musa As. kepada Harun As. Saat beliau menarik jenggot saudaranya?Atau kita mencoba mengikuti marahnya Abu Bakar ra. Kepada Umar ra yang memilih jalur ‘lembut’ dalam menyikapi Musailamah dan orang-orang yang menolak zakat?Sekeras itukah kita berperilaku terhadap seorang ikhwah.
Dimana senyummu saat pertama bertemu bersama dalam dakwah ini, dimana pelukmu seperti kepada adik-adikmu yang baru masuk dalam aksi tarbiyah? Kunjungilah saudaramu, ketika lama ia tidak menyapamu, smslah ia saat sang adik tidak pernah muncul-muncul dalam pertemuan keimanan. Datangilah mereka yang lemah, mereka yang manja, tularkan petuah-petuah juangmu. Apakah benar sudah saatnya mereka survival dalam menjaga stablitas keimanananya?Tidak, tidak ya akhi, cukuplah derai airmata ini, cukuplah kesedihan hilangnya seorang ikhwah ‘berhenti’ sampai disini, dekaplah dan tahanlah mereka yang hendak pergi.
Kuntum bunga boleh layu, namun rekahnya bunga-bunga mujahid harus terjaga tetap hadir di sebuah kebun…
(Suara Persaudaraan)
(kutipan)